PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA MASSA
REVIEW BAB V TENTANG PERUBAHAN
SOSIAL DAN BUDAYA MASSA
A.
PERUBAHAN
SOSIAL
Dalam buku tersebut menjelaskan perubahan sosial
merupakan proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua
unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan
masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal
meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, sistem sosial lama kemudian
menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem
sosial yang baru. Ini terjadi ketika ada kesediaan anggota kelompok yang
meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem sosial lama dengan menggantikan
unsur-unsur dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial mencangkup seluruh
kehidupan masyarakat baik tinggkatan individu, kelompok, masyarakat, negara,
dan dunia.
Perubahan sosial menyangkut aspek-aspek yakni :
perubahan pola pikir masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, perubahan
budaya materi. Sebagai contoh : sikap terhadap pekerjaan bahwa konsep dan pola
pikir lama tentang pekerjaan, dimana pekerjaan dikonsep menjadi dua yaitu
sektor formal dan informal. Kemudian contoh lain ketika perubahan perilaku
pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi. Apabila pada sistem lama,
ukuran-ukuran kinerja hanya dilihat dari aspek output dan proses tanpa harus
mengukur sampai dimana output dn proses itu dicapai, maka pada sistem sosial
baru sebuah lembaga atau instansi diukur
sampai pada tingkat kinerja output dan proses itu, yaitu menggunakan standar
sertifikasi. Perubahan terjadi juga pada artefak budaya, seperti model pakaian,
karya fotografi, karya film, teknologi, dan lain sebagainya yang terus berubah dari waktu ke waktu
menyesuaikan kebutuhan masyarakat.
Dalam buku tersebut juga menjelaskan tahapan
transisi sosiologis, dimulai dari fase primitif dimana manusia hidup secara
berpindah-pindah sesuai ketersediaan makanan. Fase berikutnya fase agrokultural
ketika manusia mulai bercocok tanam disuatu tempat biarpun tetap berpindah pada
skala yang relatif lama. Fase tradisional, dimana masyarakat hidup menetap dii
tempat yang dianggap memiliki ketersediaan kebutuhan masyarakat. Fase transisi,
kehidupan desa sudah sangat maju. Fase modern, masyarakat sudah kosmopolitan
dengan kehidupan individual yang sangat menonjol. Fase postmodern, akibat
masyarakat modern kelebihan dalam berbagai aspek menciptakan pola sikap dan
perilaku serta pandangan-pandangan mereka terhadap diri dan lingkungan sosial
yang berbeda dengan masyarakat modern atau masyarakat sebelum itu. Secara
hierarkis perubahan sosial memiliki tingkatan yang sederhana di tingkat
individu sampai pada perubahan sosial yang rumit di tingkat dunia. Laurer
(2001: 6). Perubahan sosial terjadi secara vertikal, namun implikasi dari
perubahan sosial vertikal itu mengubah semua aspek dalam kehidupan manusia,
masyarakat dan dunia serta semua kehidupan sosial mereka yang umumnya terjadi
tidak saja vertikal namun juga horizontal bahkan membentuk pola-pola perubahan
lainnya, seperti memutar (siklus), mengulang (repetition), memecah, menyatu
(diffusion), dan sebagainya.
B.
Budaya
Massa Dan Budaya Populer
Massa sama dengan suatu kumpulan orang banyak yang
tidak mengenal keberadaan individualitas.
Blumer
dalam McQuail (2002: 41) ada empat kompenen sosiologis yang mengandung arti
massa, yaitu
1. Anggota
massa adalah orang-orang dari posisi kelas sosial yang berbeda,jenis pekerjaan
yang berlainan, dengan latar belakang budaya dll.
2. Massa
terdiri dari individu – individu yang anonim
3. Biasanya
secara fisik anggota massa terpisah satu sama lainnya
4. Keorganisasian
dari suatu massa bersifat sanggat longgar, dan tidak mampu untuk bertindak bersama
atau secara kesatuan, seperti hanya satu kerumunan.
Massa
ditandai :
1. Kurang
memiliki kesadaran diri
2. Kurang
memiliki identitas diri
3. Tidak
mampu bergerak secara serentak dan terorganisasir untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
4. Komposisi
massa selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula
5. Massa
tidak bertindak dengan dirinya sendiri, tetapi dikooptasi untuk melakukan suatu
tindakan
6. Meski
anggotanya heterogen, dan dari semua lapisan soial, massa selalu bersikap sama
dan berbuat sesuai dengan persepsi orang yang akan menkooptasi mereka.
McQuail (2001: 39)
massa ditandai :
1. Memiliki
agregat yang besar
2. Tidak
dapat dibedakan
3. Cenderung
berfikir negatif
4. Sulit
diperintah atau diorganisasi
5. Refleksi
dari khalayak massa
Media
massa adalah institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan
lainnya dengan melalui produk media massa yang dihasilkan.
McQuail
(2002: 15)
Institusi
media massa adalah :
1. Sebagai
saluran produksi dan distribusi konten simbolis
2. Sebagai
institusi publik yang bekerja sesuai aturan yang ada
3. Keikutsertaan
baik sebagai pengirim atau penerima adalah sukarela
4. Menggunakan
standar profesional dan birokrasi
5. Media
sebagai perpaduan antara kebebasan dan kekuasaan
Budaya
massa dibentuk disebabkan :
1. Tuntutan
industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo
singkat. Nah karena harus menghasilkan dalam tempo singkat, tak sempat lagi
berpikir, maka mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam waktu
tertentu.
2. Karena
massa budaya cenderung ‘latah’ menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang
naik daun atau laris, sehingga media berlomba untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Budaya
massa dipengaruhi oleh budaya populer. Ben Agger (1992: 24) ada empat aliran :
1. Budaya
dibangun berdasarkan kesenangan umum tidak subtansial dan mengentaskan orang
dari kejenuhan kerja sepanjang hari
2. Kebudayaan
populer menghancurkan nilai budaya tradisional
3. Kebudayaan
menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx Kapitalis
4. Kebudayaan
populer merupakan budaya yang menetas dari atas.
Kebudayaan populer berkaitan seperti
pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan
tubuh, dan semacamnya. Dalam budaya populer, ‘perangkat media massa’ seperti
pasar rakyat, film, buku, televisi, dan jurnalistik akan menuntun perkembangan
budaya pada ‘erosi nilai budaya’. Kebudayaan populer tidak hanya secara
langsung disalahkan bagi penantang inteligensia publik dan melemahkan keadaan
normal, namun justru kritik neokonservatif semakin memperkeruh suasana dengan
tidak menunjukan sikap penyelamatan terhadap budaya tradisional (Ben Agger,
1992; 27). Kebudayaan populer lebih banyak berpengaruh pada kelompok orang muda
dan menjadi pusat ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer
terus menjadi kontradiksi dan perdebatan (Ben Agger, 1992;28) .
Budaya populer lebih banyak
mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudia mengesankan lebih komsutif. Hiburan
merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur
kapitalis (During, 1993;271-272). Hiburan merupakan respons jiwa dan
perkembangan implikasi emosi diri, menjadi suatu tanda keinginan manusia yang
meronta-ronta ingin ditanggapi dengan memenuhinya (During, 1993; 271-272).
Dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam
media tipuan. Hampir tidak lagi perbedaan antara kehidupan nyata dan dunia yang
digambarkan dalam film yang dirancang menggunkan efek suara dengan tingkat
ilusi yang sempurna sehingga tak terkesan imaginatif (Simon During, 1993; 31).
Dan ini membuat sejarawan begitu sulit menentukan kaidah-kaidah dasar tentang
kesalahan, sama susahnya dengan menentukan kaidah-kaidah dasar mengenai
kebenaran. Kemerdekaan pribadi menjadi ukuran utama dan dalam dunia post
modern, ukuran ini menjadi semakin tidak jelas (During, 1993; 34-35).
BERITA PERUBAHAN SOSIAL POSITIF
http://internasional.metrotvnews.com/read/2016/05/03/522676/sambut-mea-kemenlu-adakan-forum-strategi-tenaga-profesi
Sambut MEA, Kemenlu Adakan Forum Strategi Tenaga
Profesional
Sonya Michaella • 03 Mei
2016 11:52 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2016, terdapat ketakutan
di masyarakat Indonesia bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia akan dibanjiri
tenaga kerja asing.
Menurut
pernyataan tertulis yang diterima Metrotvnews.com,
Selasa (3/5/2016), hal ini merupakan suatu potensi masalah mengingat jumlah
pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 5,8 persen, jauh diatas Thailand
(0,8%), Singapura (2%) dan Malaysia (2,9%).
Menanggapi
hal tersebut, Kemenlu RI bekerja sama dengan Pusat Studi ASEAN & FISIP
Universitas Indonesia mengadakan Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN)
bertajuk “Strategi Tenaga Profesional Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN” di Gedung Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok pada 3 Mei 2016.
Di forum
ini, Kemenlu RI dibawah Pusat Pengembangan dan Pengkajian Kebijakan Kawasan
Asia-Afrika mengundang stakeholders dari kalangan pemerintah, akademisi dan
media untuk mendapatkan sudut pandang yang berimbang, tentang bagaimana
menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan dalam MEA, tapi juga menjadi juara.
Satu hal
yang menjadi fokus forum ini adalah pengenalan Mutual Recognition Agreement
atau harmonisasi peraturan serta pengakuan bersama standar kompetensi pekerja
professional bagi 8 jenis profesi, yaitu insinyur, arsitektur, perawat, dokter,
dokter gigi, akuntan, land surveyor, dan pekerja pariwisata. Dengan MRA,
kompetensi 8 jenis profesi akan distandarisasi sehingga bebas bekerja di
seluruh negara anggota ASEAN.
Terlepas
dari fakta bahwa Indonesia mempunyai angka pengangguran yang tinggi (5,8%)
namun nyatanya stok tenaga kerja profesional dalam negeri tidak sebanding
dengan kebutuhan yang terus meningkat tajam.
Menurut
Asosiasi Profesi Tenaga Terampil dan Ahli Indonesia (APTA), hingga tahun 2019,
Indonesia akan mengalami defisit 120.000 Insinyur Sipil dan defisit 190.000
Tenaga Medis.Adanya MEA dapat menjadi kesempatan bagi tenaga kerja yang belum
terserap oleh pasar dalam negeri untuk bekerja di level ASEAN, dengan catatan
bahwa tenaga kerja ini mau dan mampu bersaing di tingkat regional. Kuncinya
sederhana, yakni mengambil sertifikasi MRA.
Dengan
berlakunya MEA, idealnya saat ini tenaga kerja profesional Indonesia
berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat MRA. Sayangnya kurangnya
sosialisasi membuat banyak tenaga kerja profesional belum aware akan keberadaan
sertifikat ini
Menurut Bank
Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia.
Kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44%), keterampilan
penggunaan komputer (36%), keterampilan perilaku (30%), keterampilan berpikir
kritis (33%), dan keterampilan dasar (13%).
Dengan
menghadirkan narasumber – narasumber kunci dalam pembuatan kebijakan seperti
Wakil Tetap RI untuk ASEAN, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan
Produktivitas, Kemenaker, Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan Pimpinan
Asosiasi Tenaga Profesional dari Pariwisata, Perawat dan Insinyur, gol FKKLN
adalah menghasilkan kajian yang dapat menghasilkan solusi praktis untuk
menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan, tapi tetap menjadi juara di ASEAN.
ANALISIS BERITA
Dalam
buku Prof. Dr Burhan Bungin mengatakan contoh perubahan sosial yakni ketika
perubahan perilaku pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi. Apabila pada
sistem lama, ukuran-ukuran kinerja hanya dilihat dari aspek output dan proses
tanpa harus mengukur sampai dimana output dan proses itu dicapai, maka pada sistem sosial baru sebuah lembaga atau instansi diukur sampai
pada tingkat kinerja output dan proses itu, yaitu menggunakan standar
sertifikasi.
Nah
bisa kita lihat bahwasannya penjelasan Prof. Dr. Burhan Bungin
ada kaitan dengan berita tersebut. Dimana saat ini pengukuran kinerja
menggunakan standar sertifikasi di buktikan dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN
(MEA) Salah satu jalan adalah pengenalan Mutual Recognition Agreement
atau harmonisasi peraturan serta pengakuan bersama standar kompetensi pekerja
professional bagi 8 jenis profesi, yaitu insinyur, arsitektur, perawat, dokter,
dokter gigi, akuntan, land surveyor, dan pekerja pariwisata. Dengan MRA,
kompetensi 8 jenis profesi akan distandarisasi sehingga bebas bekerja di
seluruh negara anggota ASEAN. Dengan berlakunya MEA, idealnya saat ini tenaga
kerja profesional Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat MRA.
Sayangnya kurangnya sosialisasi membuat banyak tenaga kerja profesional belum
aware akan keberadaan sertifikat ini. Maka dari itu Indonesia harus sadar
adanya perubahan sosial yang saat ini terjadi. Agar Indonesia bisa bersaing
dengan negara luar sertifikasi sangatlah dibutuhkan. Sertifikasi ini menjadi
salah satu tugas pemerintah untuk giat mensosialisasikan kepada para tenaga
pekerja profesional di Indonesia.
BERITA
PERUBAHAN SOSIAL NEGATIF
http://www.harianterbit.com/hanterhumaniora/read/2016/05/03/61127/0/40/Komersialisasi-dan-Liberalisasi-Pendidikan-Semakin-Merajalela
Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan Semakin Merajalela
Jakarta, HanTer - Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2016 masih menyisakan berbagai permasalahan
yang cukup kompleks. Mulai dari tata kelola pendidikan yang tidak terarah
karena tak memiliki cetak biru (blue print), kesejahteraan guru rendah, hingga
komersialisasi pendidikan.
Andre Serizawa, Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) berpandangan, masalah komersialisasi pendidikan karena proses liberalisasi yang dijalankan selama ini merupakan persoalan serius yang harus segera dibenahi.
"Proses liberalisasi di sektor pendidikan akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara perlahan tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya," kata Andre Serizawa di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Menurut dia, bila pendidikan diserahkan pada pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar, maka hal tersebut dapat disimpulkan sebagai praktek dari proses kapitalisasi pendidikan. Sementara, solusi yang selama ini dilakukan pemerintah belum menyentuh akar masalah.
Cetak Biru
Ketua Senat Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Tridoyo Kusumastanto mengatakan, tidak adanya cetak biru pendidikan Indonesia yang permanen sebagai landasan tata kelola pendidikan nasional menyebabkan kurang jelasnya peran pendidikan dalam tahapan proses pembangunan bangsa dan ketidaksinambungan kebijakan pendidikan negara.
Oleh karenanya, Guru Besar Bidang Ekonomi Kelautan ini mengatakan, pembuatan cetak biru pendidikan nasional sepantasnya memiliki jangka waktu 25 tahun yang diperkuat dengan payung hukum. “Adanya payung hukum menjadi dasar kuat, sehingga siapapun presidennya pendidikan Indonesia punya arah yang jelas dan kuat," katanya.
Terpisah, Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas lebih menyoroti masalah kesenjangan di dunia pendidikan, khususnya antara pendidikan di wilayah Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Hingga saat ini, masalah kesenjangan itu belum ada perubahan dan perbaikan yang signifikan.
"Masih ada kesenjangan sosial di dunia pendidikan. Masalah tersebut sangat krusial, antara kota dengan desa," tandasnya.
Selain itu, minimnya guru di pedalaman juga membuat masalah tersebut semakin parah. Menurut dia, pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk mengatasinya.
Sementara, Praktisi Pendidikan, Mohammad Abduhzen mengatakan, pendidikan Indonesia dalam berbagai ranah dan jenjang masih mengalami disorientasi dalam merespons perkembangan global. Operasi pendidikan seperti tersedot oleh imajinasi persaingan global dan keinginan memiliki daya saing.
"Pendidikan kita makin jauh meninggalkan pangkalan 'mencerdaskan kehidupan bangsa' yang dengan arif telah ditetapkan pendiri bangsa. Alhasil, pendidikan kita tak membuat bangsa jadi cerdas dan murid hanya memiliki kemampuan berpikir tingkat rendah seperti yang ditunjukkan oleh hasil PISA 2012," jelasnya.
Di tempat terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan menekankan pentingnya peningkatan kualitas manusia pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
"Hari pendidikan nasional kita rayakan sebagai hari kesadaran tentang pentingnya kualitas manusia. Presiden Jokowi menggariskan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dunia dan akan berhasil dalam berbagai kompetisi era global jika tinggi kualitas manusianya," ujar Mendikbud saat membacakan pidato peringatan Hardiknas di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Sementara itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyerukan reformasi pendidikan tinggi pada pelaksanaan peringatan Hardiknas.
"Reformasi pendidikan tinggi merupakan suatu keniscayaan pada saat ini, ketika kita menghadapi beragam tantangan luar biasa dalam skala lokal, nasional maupun global," ujarnya.
Menristekdikti mengatakan ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan dalam mereformasi penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai dari deregulasi, penyediaan pendidikan yang fleksibel dan berorientasi pada siswa serta pangsa pasar, perubahan kurikulum, penyediaan dosen, guru besar, dan tenaga kependidikan yang profesional.
Andre Serizawa, Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) berpandangan, masalah komersialisasi pendidikan karena proses liberalisasi yang dijalankan selama ini merupakan persoalan serius yang harus segera dibenahi.
"Proses liberalisasi di sektor pendidikan akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara perlahan tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya," kata Andre Serizawa di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Menurut dia, bila pendidikan diserahkan pada pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar, maka hal tersebut dapat disimpulkan sebagai praktek dari proses kapitalisasi pendidikan. Sementara, solusi yang selama ini dilakukan pemerintah belum menyentuh akar masalah.
Cetak Biru
Ketua Senat Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Tridoyo Kusumastanto mengatakan, tidak adanya cetak biru pendidikan Indonesia yang permanen sebagai landasan tata kelola pendidikan nasional menyebabkan kurang jelasnya peran pendidikan dalam tahapan proses pembangunan bangsa dan ketidaksinambungan kebijakan pendidikan negara.
Oleh karenanya, Guru Besar Bidang Ekonomi Kelautan ini mengatakan, pembuatan cetak biru pendidikan nasional sepantasnya memiliki jangka waktu 25 tahun yang diperkuat dengan payung hukum. “Adanya payung hukum menjadi dasar kuat, sehingga siapapun presidennya pendidikan Indonesia punya arah yang jelas dan kuat," katanya.
Terpisah, Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas lebih menyoroti masalah kesenjangan di dunia pendidikan, khususnya antara pendidikan di wilayah Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Hingga saat ini, masalah kesenjangan itu belum ada perubahan dan perbaikan yang signifikan.
"Masih ada kesenjangan sosial di dunia pendidikan. Masalah tersebut sangat krusial, antara kota dengan desa," tandasnya.
Selain itu, minimnya guru di pedalaman juga membuat masalah tersebut semakin parah. Menurut dia, pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk mengatasinya.
Sementara, Praktisi Pendidikan, Mohammad Abduhzen mengatakan, pendidikan Indonesia dalam berbagai ranah dan jenjang masih mengalami disorientasi dalam merespons perkembangan global. Operasi pendidikan seperti tersedot oleh imajinasi persaingan global dan keinginan memiliki daya saing.
"Pendidikan kita makin jauh meninggalkan pangkalan 'mencerdaskan kehidupan bangsa' yang dengan arif telah ditetapkan pendiri bangsa. Alhasil, pendidikan kita tak membuat bangsa jadi cerdas dan murid hanya memiliki kemampuan berpikir tingkat rendah seperti yang ditunjukkan oleh hasil PISA 2012," jelasnya.
Di tempat terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan menekankan pentingnya peningkatan kualitas manusia pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
"Hari pendidikan nasional kita rayakan sebagai hari kesadaran tentang pentingnya kualitas manusia. Presiden Jokowi menggariskan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dunia dan akan berhasil dalam berbagai kompetisi era global jika tinggi kualitas manusianya," ujar Mendikbud saat membacakan pidato peringatan Hardiknas di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Sementara itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyerukan reformasi pendidikan tinggi pada pelaksanaan peringatan Hardiknas.
"Reformasi pendidikan tinggi merupakan suatu keniscayaan pada saat ini, ketika kita menghadapi beragam tantangan luar biasa dalam skala lokal, nasional maupun global," ujarnya.
Menristekdikti mengatakan ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan dalam mereformasi penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai dari deregulasi, penyediaan pendidikan yang fleksibel dan berorientasi pada siswa serta pangsa pasar, perubahan kurikulum, penyediaan dosen, guru besar, dan tenaga kependidikan yang profesional.
ANALISIS BERITA
Menurut saya
ada kaitannya antara komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan di Indonesia dengan perubahan
sosial yang menjadi budaya populer. Pada saat dulu pendidikan sangat
mengedepankan kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut. Namun budaya
pendidikan tersebut berubah di zaman sekarang. Pasalnya saat ini proses
liberalisasi di sektor pendidikan menyebabkan pendidikan sarat dengan
nilai-nilai kebebasan di mana negara perlahan tidak lagi bertanggung jawab
sepenuhnya bila
pendidikan diserahkan pada pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar,
maka hal tersebut dapat disimpulkan sebagai praktek dari proses kapitalisasi
pendidikan. Nah proses pendidikan ini seakan bisa dibeli oleh pemilik kekayaan
dan kekuasaan. Masalah pendidikan yang rusak karena adanya komersialisasi dan liberalisasi
ini membias seakan tak terlihat dan dianggap hal yang sudah biasa terjadi. Dan
ini menjadi budaya populer bagi kalangan elite yang jelas memiliki modal. Yang
seperti ini lah tugas besar bagi pemerintah untuk memberantas hingga ke
akar-akarnya. Dan menjadikan sektor pendidikan sebagai pendorong perubahan
sosial yang berarah positif.
KESIMPULAN
·
Perubahan sosial adalah proses sosial dimana
masyarakat meninggalkan budaya, sistem atau kebiasaan lama dengan menggantikan
budaya, sistem atau kebiasaaan baru.
·
Perubahan sosial menyangkut aspek : perubahan pola
pikir masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan perubahan budaya materi.
·
Perubahan sosial itu bisa berdampak kearah positif dan
negatif.
·
Budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer.
·
Budaya populer dapat menghancurkan kearifan budaya
tradisional, dan cita-cita di suatu negara.
Komentar
Posting Komentar