PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA MASSA

REVIEW BAB V TENTANG PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA MASSA
A.    PERUBAHAN SOSIAL
Dalam buku tersebut menjelaskan perubahan sosial merupakan proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru. Ini terjadi ketika ada kesediaan anggota kelompok yang meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem sosial lama dengan menggantikan unsur-unsur dan sistem sosial yang baru. Perubahan sosial mencangkup seluruh kehidupan masyarakat baik tinggkatan individu, kelompok, masyarakat, negara, dan dunia.
Perubahan sosial menyangkut aspek-aspek yakni : perubahan pola pikir masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, perubahan budaya materi. Sebagai contoh : sikap terhadap pekerjaan bahwa konsep dan pola pikir lama tentang pekerjaan, dimana pekerjaan dikonsep menjadi dua yaitu sektor formal dan informal. Kemudian contoh lain ketika perubahan perilaku pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi. Apabila pada sistem lama, ukuran-ukuran kinerja hanya dilihat dari aspek output dan proses tanpa harus mengukur sampai dimana output dn proses itu dicapai, maka pada sistem sosial baru  sebuah lembaga atau instansi diukur sampai pada tingkat kinerja output dan proses itu, yaitu menggunakan standar sertifikasi. Perubahan terjadi juga pada artefak budaya, seperti model pakaian, karya fotografi, karya film, teknologi, dan lain sebagainya  yang terus berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan kebutuhan masyarakat.
Dalam buku tersebut juga menjelaskan tahapan transisi sosiologis, dimulai dari fase primitif dimana manusia hidup secara berpindah-pindah sesuai ketersediaan makanan. Fase berikutnya fase agrokultural ketika manusia mulai bercocok tanam disuatu tempat biarpun tetap berpindah pada skala yang relatif lama. Fase tradisional, dimana masyarakat hidup menetap dii tempat yang dianggap memiliki ketersediaan kebutuhan masyarakat. Fase transisi, kehidupan desa sudah sangat maju. Fase modern, masyarakat sudah kosmopolitan dengan kehidupan individual yang sangat menonjol. Fase postmodern, akibat masyarakat modern kelebihan dalam berbagai aspek menciptakan pola sikap dan perilaku serta pandangan-pandangan mereka terhadap diri dan lingkungan sosial yang berbeda dengan masyarakat modern atau masyarakat sebelum itu. Secara hierarkis perubahan sosial memiliki tingkatan yang sederhana di tingkat individu sampai pada perubahan sosial yang rumit di tingkat dunia. Laurer (2001: 6). Perubahan sosial terjadi secara vertikal, namun implikasi dari perubahan sosial vertikal itu mengubah semua aspek dalam kehidupan manusia, masyarakat dan dunia serta semua kehidupan sosial mereka yang umumnya terjadi tidak saja vertikal namun juga horizontal bahkan membentuk pola-pola perubahan lainnya, seperti memutar (siklus), mengulang (repetition), memecah, menyatu (diffusion), dan sebagainya.
B.     Budaya Massa Dan Budaya Populer
Massa sama dengan suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas.
Blumer dalam McQuail (2002: 41) ada empat kompenen sosiologis yang mengandung arti massa, yaitu
1.      Anggota massa adalah orang-orang dari posisi kelas sosial yang berbeda,jenis pekerjaan yang berlainan, dengan latar belakang budaya dll.
2.      Massa terdiri dari individu – individu yang anonim
3.      Biasanya secara fisik anggota massa terpisah satu sama lainnya
4.      Keorganisasian dari suatu massa bersifat sanggat longgar, dan tidak mampu untuk bertindak bersama atau secara kesatuan, seperti hanya satu kerumunan.
Massa ditandai :
1.      Kurang memiliki kesadaran diri
2.      Kurang memiliki identitas diri
3.      Tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisasir untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
4.      Komposisi massa selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah pula
5.      Massa tidak bertindak dengan dirinya sendiri, tetapi dikooptasi untuk melakukan suatu tindakan
6.      Meski anggotanya heterogen, dan dari semua lapisan soial, massa selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi orang yang akan menkooptasi mereka.


McQuail (2001: 39) massa ditandai :
1.      Memiliki agregat yang besar
2.      Tidak dapat dibedakan
3.      Cenderung berfikir negatif
4.      Sulit diperintah atau diorganisasi
5.      Refleksi dari khalayak massa
Media massa adalah institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan lainnya dengan melalui produk media massa yang dihasilkan.
McQuail (2002: 15)
Institusi media massa adalah :
1.      Sebagai saluran produksi dan distribusi konten simbolis
2.      Sebagai institusi publik yang bekerja sesuai aturan yang ada
3.      Keikutsertaan baik sebagai pengirim atau penerima adalah sukarela
4.      Menggunakan standar profesional dan birokrasi
5.      Media sebagai perpaduan antara kebebasan dan kekuasaan
Budaya massa dibentuk disebabkan :
1.      Tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat. Nah karena harus menghasilkan dalam tempo singkat, tak sempat lagi berpikir, maka mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam waktu tertentu.
2.      Karena massa budaya cenderung ‘latah’ menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer. Ben Agger (1992: 24) ada empat aliran :
1.      Budaya dibangun berdasarkan kesenangan umum tidak subtansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari
2.      Kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional
3.      Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx Kapitalis
4.      Kebudayaan populer merupakan budaya yang menetas dari atas.
Kebudayaan populer berkaitan seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya. Dalam budaya populer, ‘perangkat media massa’ seperti pasar rakyat, film, buku, televisi, dan jurnalistik akan menuntun perkembangan budaya pada ‘erosi nilai budaya’. Kebudayaan populer tidak hanya secara langsung disalahkan bagi penantang inteligensia publik dan melemahkan keadaan normal, namun justru kritik neokonservatif semakin memperkeruh suasana dengan tidak menunjukan sikap penyelamatan terhadap budaya tradisional (Ben Agger, 1992; 27). Kebudayaan populer lebih banyak berpengaruh pada kelompok orang muda dan menjadi pusat ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer terus menjadi kontradiksi dan perdebatan (Ben Agger, 1992;28) .
Budaya populer lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudia mengesankan lebih komsutif. Hiburan merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis (During, 1993;271-272). Hiburan merupakan respons jiwa dan perkembangan implikasi emosi diri, menjadi suatu tanda keinginan manusia yang meronta-ronta ingin ditanggapi dengan memenuhinya (During, 1993; 271-272). Dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir tidak lagi perbedaan antara kehidupan nyata dan dunia yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunkan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempurna sehingga tak terkesan imaginatif (Simon During, 1993; 31). Dan ini membuat sejarawan begitu sulit menentukan kaidah-kaidah dasar tentang kesalahan, sama susahnya dengan menentukan kaidah-kaidah dasar mengenai kebenaran. Kemerdekaan pribadi menjadi ukuran utama dan dalam dunia post modern, ukuran ini menjadi semakin tidak jelas (During, 1993; 34-35).
           





BERITA PERUBAHAN SOSIAL POSITIF
http://internasional.metrotvnews.com/read/2016/05/03/522676/sambut-mea-kemenlu-adakan-forum-strategi-tenaga-profesi
Sambut MEA, Kemenlu Adakan Forum Strategi Tenaga Profesional
Sonya Michaella    •    03 Mei 2016 11:52 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  2015 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2016, terdapat ketakutan di masyarakat Indonesia bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia akan dibanjiri tenaga kerja asing.
Menurut pernyataan tertulis yang diterima Metrotvnews.com, Selasa (3/5/2016), hal ini merupakan suatu potensi masalah mengingat jumlah pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 5,8 persen, jauh diatas Thailand (0,8%), Singapura (2%) dan Malaysia (2,9%).
Menanggapi hal tersebut, Kemenlu RI bekerja sama dengan Pusat Studi ASEAN & FISIP Universitas Indonesia mengadakan Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) bertajuk “Strategi Tenaga Profesional Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN” di Gedung Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok pada 3 Mei 2016.
Di forum ini, Kemenlu RI dibawah Pusat Pengembangan dan Pengkajian Kebijakan Kawasan Asia-Afrika mengundang stakeholders dari kalangan pemerintah, akademisi dan media untuk mendapatkan sudut pandang yang berimbang, tentang bagaimana menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan dalam MEA, tapi juga menjadi juara.
Satu hal yang menjadi fokus forum ini adalah pengenalan Mutual Recognition Agreement atau harmonisasi peraturan serta pengakuan bersama standar kompetensi pekerja professional bagi 8 jenis profesi, yaitu insinyur, arsitektur, perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, land surveyor, dan pekerja pariwisata. Dengan MRA, kompetensi 8 jenis profesi akan distandarisasi sehingga bebas bekerja di seluruh negara anggota ASEAN.
Terlepas dari fakta bahwa Indonesia mempunyai angka pengangguran yang tinggi (5,8%) namun nyatanya stok tenaga kerja profesional dalam negeri tidak sebanding dengan kebutuhan yang terus meningkat tajam.
Menurut Asosiasi Profesi Tenaga Terampil dan Ahli Indonesia (APTA), hingga tahun 2019, Indonesia akan mengalami defisit 120.000 Insinyur Sipil dan defisit 190.000 Tenaga Medis.Adanya MEA dapat menjadi kesempatan bagi tenaga kerja yang belum terserap oleh pasar dalam negeri untuk bekerja di level ASEAN, dengan catatan bahwa tenaga kerja ini mau dan mampu bersaing di tingkat regional. Kuncinya sederhana, yakni mengambil sertifikasi MRA.
Dengan berlakunya MEA, idealnya saat ini tenaga kerja profesional Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat MRA. Sayangnya kurangnya sosialisasi membuat banyak tenaga kerja profesional belum aware akan keberadaan sertifikat ini
Menurut Bank Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44%), keterampilan penggunaan komputer (36%), keterampilan perilaku (30%), keterampilan berpikir kritis (33%), dan keterampilan dasar (13%).
Dengan menghadirkan narasumber – narasumber kunci dalam pembuatan kebijakan seperti Wakil Tetap RI untuk ASEAN, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Kemenaker, Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan Pimpinan Asosiasi Tenaga Profesional dari Pariwisata, Perawat dan Insinyur, gol FKKLN adalah menghasilkan kajian yang dapat menghasilkan solusi praktis untuk menjadikan Indonesia tidak hanya bertahan, tapi tetap menjadi juara di ASEAN.








ANALISIS BERITA
Dalam buku Prof. Dr Burhan Bungin mengatakan contoh perubahan sosial yakni ketika perubahan perilaku pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi. Apabila pada sistem lama, ukuran-ukuran kinerja hanya dilihat dari aspek output dan proses tanpa harus mengukur sampai dimana output dan proses itu dicapai,  maka pada sistem sosial baru  sebuah lembaga atau instansi diukur sampai pada tingkat kinerja output dan proses itu, yaitu menggunakan standar sertifikasi.
Nah bisa kita lihat bahwasannya penjelasan Prof. Dr. Burhan Bungin ada kaitan dengan berita tersebut. Dimana saat ini pengukuran kinerja menggunakan standar sertifikasi di buktikan dalam  menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA)  Salah satu jalan adalah pengenalan Mutual Recognition Agreement atau harmonisasi peraturan serta pengakuan bersama standar kompetensi pekerja professional bagi 8 jenis profesi, yaitu insinyur, arsitektur, perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, land surveyor, dan pekerja pariwisata. Dengan MRA, kompetensi 8 jenis profesi akan distandarisasi sehingga bebas bekerja di seluruh negara anggota ASEAN. Dengan berlakunya MEA, idealnya saat ini tenaga kerja profesional Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat MRA. Sayangnya kurangnya sosialisasi membuat banyak tenaga kerja profesional belum aware akan keberadaan sertifikat ini. Maka dari itu Indonesia harus sadar adanya perubahan sosial yang saat ini terjadi. Agar Indonesia bisa bersaing dengan negara luar sertifikasi sangatlah dibutuhkan. Sertifikasi ini menjadi salah satu tugas pemerintah untuk giat mensosialisasikan kepada para tenaga pekerja profesional di Indonesia.







BERITA PERUBAHAN SOSIAL NEGATIF
http://www.harianterbit.com/hanterhumaniora/read/2016/05/03/61127/0/40/Komersialisasi-dan-Liberalisasi-Pendidikan-Semakin-Merajalela
Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan Semakin Merajalela
Jakarta, HanTer - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2016 masih menyisakan berbagai permasalahan yang cukup kompleks. Mulai dari tata kelola pendidikan yang tidak terarah karena tak memiliki cetak biru (blue print), kesejahteraan guru rendah, hingga komersialisasi pendidikan.

Andre Serizawa, Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) berpandangan, masalah komersialisasi pendidikan karena proses liberalisasi yang dijalankan selama ini merupakan persoalan serius yang harus segera dibenahi.

"Proses liberalisasi di sektor pendidikan akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara perlahan tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya," kata Andre Serizawa di Jakarta, Senin (2/5/2016).

Menurut dia, bila pendidikan diserahkan pada pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar, maka hal tersebut dapat disimpulkan sebagai praktek dari proses kapitalisasi pendidikan. Sementara, solusi yang selama ini dilakukan pemerintah belum menyentuh akar masalah.

Cetak Biru

Ketua Senat Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Tridoyo Kusumastanto mengatakan, tidak adanya cetak biru pendidikan Indonesia yang permanen sebagai landasan tata kelola pendidikan nasional menyebabkan kurang jelasnya peran pendidikan dalam tahapan proses pembangunan bangsa dan ketidaksinambungan kebijakan pendidikan negara.

Oleh karenanya, Guru Besar Bidang Ekonomi Kelautan ini mengatakan, pembuatan cetak biru pendidikan nasional sepantasnya memiliki jangka waktu 25 tahun yang diperkuat dengan payung hukum. “Adanya payung hukum menjadi dasar kuat, sehingga siapapun presidennya pendidikan Indonesia punya arah yang jelas dan kuat," katanya.

Terpisah,  Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas lebih menyoroti masalah kesenjangan di dunia pendidikan, khususnya antara pendidikan di wilayah Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Hingga saat ini, masalah kesenjangan itu belum ada perubahan dan perbaikan yang signifikan.

"Masih ada kesenjangan sosial di dunia pendidikan. Masalah tersebut sangat krusial, antara kota dengan desa," tandasnya.

Selain itu, minimnya guru di pedalaman juga membuat masalah tersebut semakin parah. Menurut dia, pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk mengatasinya.

Sementara, Praktisi Pendidikan, Mohammad Abduhzen mengatakan, pendidikan Indonesia dalam berbagai ranah dan jenjang masih mengalami disorientasi dalam merespons perkembangan global. Operasi pendidikan seperti tersedot oleh imajinasi persaingan global dan keinginan memiliki daya saing.

"Pendidikan kita makin jauh meninggalkan pangkalan 'mencerdaskan kehidupan bangsa' yang dengan arif telah ditetapkan pendiri bangsa. Alhasil, pendidikan kita tak membuat bangsa jadi cerdas dan murid hanya memiliki kemampuan berpikir tingkat rendah seperti yang ditunjukkan oleh hasil PISA 2012," jelasnya.

Di tempat terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan menekankan pentingnya peningkatan kualitas manusia pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

"Hari pendidikan nasional kita rayakan sebagai hari kesadaran tentang pentingnya kualitas manusia. Presiden Jokowi menggariskan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dunia dan akan berhasil dalam berbagai kompetisi era global jika tinggi kualitas manusianya," ujar Mendikbud saat membacakan pidato peringatan Hardiknas di Jakarta, Senin (2/5/2016).

Sementara itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyerukan reformasi pendidikan tinggi pada pelaksanaan peringatan Hardiknas.

"Reformasi pendidikan tinggi merupakan suatu keniscayaan pada saat ini, ketika kita menghadapi beragam tantangan luar biasa dalam skala lokal, nasional maupun global," ujarnya.

Menristekdikti mengatakan ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan dalam mereformasi penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai dari deregulasi, penyediaan pendidikan yang fleksibel dan berorientasi pada siswa serta pangsa pasar, perubahan kurikulum, penyediaan dosen, guru besar, dan tenaga kependidikan yang profesional.
ANALISIS BERITA
Menurut saya ada kaitannya antara komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan di Indonesia dengan perubahan sosial yang menjadi budaya populer. Pada saat dulu pendidikan sangat mengedepankan kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut. Namun budaya pendidikan tersebut berubah di zaman sekarang. Pasalnya saat ini proses liberalisasi di sektor pendidikan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara perlahan tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya bila pendidikan diserahkan pada pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar, maka hal tersebut dapat disimpulkan sebagai praktek dari proses kapitalisasi pendidikan. Nah proses pendidikan ini seakan bisa dibeli oleh pemilik kekayaan dan kekuasaan. Masalah pendidikan yang rusak karena adanya komersialisasi dan liberalisasi ini membias seakan tak terlihat dan dianggap hal yang sudah biasa terjadi. Dan ini menjadi budaya populer bagi kalangan elite yang jelas memiliki modal. Yang seperti ini lah tugas besar bagi pemerintah untuk memberantas hingga ke akar-akarnya. Dan menjadikan sektor pendidikan sebagai pendorong perubahan sosial yang berarah positif.

KESIMPULAN
·         Perubahan sosial adalah proses sosial dimana masyarakat meninggalkan budaya, sistem atau kebiasaan lama dengan menggantikan budaya, sistem atau kebiasaaan baru.
·         Perubahan sosial menyangkut aspek : perubahan pola pikir masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan perubahan budaya materi.
·         Perubahan sosial itu bisa berdampak kearah positif dan negatif.
·         Budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer.
·         Budaya populer dapat menghancurkan kearifan budaya tradisional, dan cita-cita di suatu negara.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMECAHAN MASALAH SECARA BERFIKIR KREATIF

CERDAS DAN BERBUDI LUHUR

MAKALAH BAHASA INDONESIA TENTANG POLA TIDUR